Surabaya Heritage Track: Tour Guide Gratis Kota Pahlawan


Surabaya Heritage Track: Tour Guide Gratis Kota Pahlawan

Bus Wisata dan Pemandu SHT
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Pertengahan Bulan September lalu saya berkesempatan mengikuti Surabaya Heritage Track. Sebuah tour guide gratis keliling kota Surabaya dengan rute-rute tertentu yang telah ditentukan. Surabaya Heritage Track ini merupakan sebuah fasilitas anyar yang disediakan oleh House of Sampoerna bagi para wisatawan lokal maupun internasional yang ingin menjelajahi Kota Surabaya namun memiliki waktu dan alat transportasi yang terbatas, Surabaya Heritage Track ini menjadi solusinya.


Hari itu pukul 12 siang waktu setempat, saya baru saja menyelesaikan kunjungan saya dari House of Sampoerna, Surabaya. Setelah merasa tidak ada lagi yang belum saya lihat di dalam gedung tersebut akhirnya saya memutuskan keluar gedung dan mencari toilet. Setelah bertanya ke petugas sepempat saya diberitahu bahwa toiletnya da di luar gedung tepatnya di sebelah kanan gedung (masih di area kompleks PT. Sampoerna). Fyi: penuansaan toiletnya bagus, vintage, bersih, dan wangi, sehingga saya patut mengapresiasi haha.

Di pelataran kompleks PT. Sampoerna, di sebelah Gedung Museum House of Sampoerna berdiri sebuah gedung kecil yang terlihat ramai sekali dari kejauhan. Di depan bangunan tersebut terparkir sebuah mini bus sebesar bus wanita Transjakarta. Karena penasaran, akhirnya saya mendatangi gedung tersebut. Setelah melihat secara lebih dekat, ternyata gedung tersebut terdiri dari dua bagian, bagian pertama adalah sebuah restoran, dan yang kedua adalah bagian resepsionis yang merangkap sebagai penjual souvenir-souvenir resmi dari House of Sampoerna. Ketika saya masuk ke bagian resepsionis, di sana sudah berjejer 3 pasangan sedang mengantre ketika itu. Setelah sampai giliran saya, saya langsung menanyakan tentang bus wisata tersebut. Sesuai dugaan saya,bus tersebut merupakan bus untuk melayani tour, sebuah fasilitas gratis yang diberikan oleh House of Sampoerna. Bus tersebut memiliki 3 jadwal keberangkatan dengan rute yang berbeda-beda tiap jamnya. Pertama adalah pukul 10:00 – 11:30, kedua 13:00-14:30, dan ketiga 15:00-16:30.

Pada kesempatan itu saya mendapat giliran jam kedua yakni 13:00-14:30. Perjalanan kali itu diawali dengan mengunjungi Rumah HOS Tjokroaminoto di daerah Peneleh. Perjalanan tour tersebut sangat nyaman, dengan bus AC dengan kondisi yang sangat baik, perjalanan kami ternyata ditemani oleh guide yang bertugas memandu dan menemani kita sembari menerangkan sejarah singkat Surabaya beserta gedung-gedung tua yang akan kita lalui dan sesekali diselipkan dengan guyonan khas Surabaya selama perjalanan. Mendekati lokasi pertama kami diperlihatkan sederetan gang perkampungan di daerah Peneleh yang dahulu diceritakan wilayah tersebut dikotak-kotakkan sebagai tempat tinggal sejumlah kelompok, mulai dari perkampungan orang Bali hingga perkampungan pandai besi. Diketahui Soekarno sempat tinggal di kampong Peneleh tepatnya di Kampung Bali karna Soekarno muda memang putra dari seorang Putri dari Bali bernama Ida Ayu Nyoman Rai Srimben yang menikah dengan Raden Soekemi Sosrodihardjo. Kampung Peneleh sendiri merupakan perkampungan yang cukup padat penduduk hingga kini karena dahulu tidak jauh dari sana terdapat pelabuhan tradisional bernama Pelabuhan Kalimas.  Tidak lama dari penjelasan sang pemandu, kita akhirnya berhenti di depan salah satu gang di Kampung Peneleh. Saat turun kita langsung disambut tanda panah arah Rumah HOS Tjokroaminoto.

Tampak depan rumah HOS Tjokroaminoto
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Potret Anak-kos Kos di Rumah HOS Tjokroaminoto
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Sebelum para peserta tour masuk ke dalam, kita diberi sedikit penjelasan tentang bangunan tersebut. Bangunan tersebut rumah kediaman asli sang guru besar Raden Hadji Oemar Said Tjokroaminoto atau biasa dikenal dengan HOS Tjokroaminoto. Bagi yang belum mengenal sosok tersebut, beliau merupakan seorang guru bagi tokoh-tokoh yang kelak sangat berpengaruh dalam perjalanan sejarah Indonesia, diantaranya Soekarno, Semaun, Musso, Kartosoewirjo, dan Alimin. Rumah HOS Tjokroaminoto sendiri terdiri dari dua lantai, lantai pertama merupakan tempat tinggal HOS Tjokroaminoto beserta keluarga, dan lantai dua dijadikan sebagai kos-kosan para pemuda yang tempat tidurnya hanya berupa tikar bambu dan disekat dengan laci-laci kecil.



Lantai atas dan lantai bawah Rumah Hos Tjokroaminoto
Sumber: Dokumentasi Pribadi
 Selesai dari kunjungan rumah HOS Tjokroaminoto kita melanjutkan sedikit perjalanan mengelilingi kampong tersebut dengan berjalan kaki. Uniknya di sejumlah rumah di gang tersebut terdapat makam-makam kecil milik keluarga. Diketahui bahwa dahulu memakamkan anggota keluarga di depan rumah merupakan hal yang sangat umum dan diketahui agar memudahkan anggota keluarga untuk melakukan ziarah kapanpun mereka mau. Tidak jauh dari sana, kita berhenti di sebuah masjid tua, rang-orang biasa menyebutkan Masjid Peneleh. Konon, masjid tersebut merupakan masjid tertua nomer dua di Surabaya setelah Masjid Rahmad.


Potret samping Masjid Rahman
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Setelah puas melihat-lihat Kampung Peneleh kemudian kami kembali diarahkan menuju bus wisata untuk melanjutkan perjalanan ke destinasi terakhir. Dalam perjalanan menuju bus, beberapa dari peserta membeli minum di sejumlah warung di kampung tersebut lantaran kehausan. Memang, cuaca siang hari itu benar-benar terik dan saya baru menyadari bahwa Surabaya tidak kalah panas dari Jakarta. Kalau dipikir-pikir selain memberi manfaat bagi para peserta tour, Surabaya Heritage Track ini nyatanya juga memberi manfaat bagi para masyarakat setempat yang wilayahnya dilalui wisatawan. Hanya tinggal menunggu waktu saja sampai masyarakat setempat benar-benar mengambil kesempatan tersebut dengan membuka lahan bisnis baru seperti menjajakan makanan ringan, cindera mata yang dibuat oleh masyarakat setempat, atau sekedar membuat acara penyambutan kecil-kecil agar para wisatawan bisa lebih tergugah untuk datang kembali ke tempat tersebut.

Potret Gedung Siola di malam hari
Sumber: Dokumentasi Pribadi

           Kembali ke destinasi terakhir, setelah melewati beberapa perkampungan penduduk lokal, kami kemudian diajak untuk menyusuri jalan-jalan utama Kota Surabaya. Kami menuju arah Jalan Tunjungan di mana kawasan tersebut merupakan satu dari kawasan berserah yang ada di Kota Surabaya. Diawali dengan Gedung Siola yang dahulu merupakan perusahaan tekstil milik Inggris, kemudian dijadikan benteng pertahanan arek-arek Surabaya di masa penjajahan Belanda, kemudian dialihfungsikan sebagai mall pertama di Surabaya  dengan nama Siola, dan  sekarang sudah beralih fungsi sebagai Mall Pelayanan Publik. Mall Pelayanan Publik tersebut digagas oleh Ibu Risma sang Walikota Surabaya yang diperuntukkan untuk mengurus sejumlah dokumen.
Mulai dari dokumen kependudukan, pajak, kepolisian, PDAM, Izin Bangunan, Izin Usaha, Izin Produk, dan masih banyak lagi. Sekitar 200 meter dari Gedung Siola berdiri sebuah hotel bersejarah nan mewah bernama Hotel Majapahit. Bagi yang belum tahu, hotel tersebut terkenal pasca kejadian perobekan bendera (Merah-Putih-Biru) menjadi bendera Indonesia (Merah-Putih) oleh arek-arek Surabaya di puncak hotel tersebut yang ketika itu bernama Hotel Yamato pada tanggal 19 September 1945.




Tampak samping Hotel Majapahit yang dulu bernama Hotel Yamato
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tidak lama setelah melewati sejumlah gedung-gedung tua di kawasan tersebut, bus wisata yang kami tumpangi kemudian menepi ke sisi sebelah kanan. Setelah para peserta tour dirasa sudah turun semua barulah sang pemandu wisata memimpin perjalanan kita ke sebuah gang yang apabila dari jauh hanyalah gang kecil selebar dua meter biasa. Di mulut gang kami disuguhkan oleh gambar gravity yang bertuliskan Kampung Ketandan dengan taglineSek Waras Ta?” yang artinya “Apakah masih sehat?”. Sang pewandu menjelaskan bahwa penggambaran gravity merupakan sebuah sindirian bagi kaum milenial yang terbiasa terhubung dengan ponsel pintar yang mereka miliki, yang dilain bisa menghubungkan seseorang yang jauh berkilo-kilo meter dari kita namun memisahkan kita dengan orang-orang di lingkungan kita sendiri.  


Salah satu potret gravity di Kampung Ketandan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Tidak ada yang ikon-ikon besar dari Kampung Ketandan ini, namun hal itulah yang justru ditawarankan kampung ini sebagai daya takir, sebuah penggambaran mengenai kehidupan di sebuah gang kecil di Kota Surabaya tengah hingar bingar bangunan modern yang mengapit di kanan dan kiri. Anehnya, walaupun kampung ini berada di pusat kota dengan kebisingan masyarakat urban, namun semakin kita masuk ke dalam kampung tersebut, kita tidak mendengar lagi kebisingan-kebisingan tadi dan cenderung tenang. Sampai-sampai kita lupa kalau kita berada di tengah kota.Kesederhanaan, mungkin kata inilah yang bisa menggambarkan kehidupan masyarakatnya. Memasuki Kampung kita disambut dengan keramahan para Ibu-ibu yang sedang mengantre lontong balap yang begitu kami lewat mereka langsung memberikan senyuman hangat, atau Bapak-Bapak yang sedang bermain catur, hingga anak-anak yang sedang bermain lompat tali.


Potret masjid tertua di Kampung Ketandan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Penyusuran kita diawali dengan masjid tua di kampung tersebut sebagai penggambaran masjid-masijd yang ada di Surabaya. Lalu, kami diajak ke tengah kampung dan hal yang menarik perhatian para peserta tour adalah di tengah-tengah perkampungan sana terdapat makam kramat yang masih terawat dengan baik. Seperti yang sudah dijelaskaan sebelumnya di Kampung Peneleh bahwa masyarakat Surabaya memang sudah sejak dahulu memakamkan anggota keluarnya di dekat tempat tinggal mereka entah itu di depan maupun di halaman belakang rumah. Mirip dengan konsep tersebut makam tersebut juga berada di dekat perkampungan, dengan pohon beringin yang masih berdiri kokoh, dan dikelilingi oleh pagar kayu yang sudah dipernis. Di depan pagar makam tadi, terdapat sebuah sanggar seni yang seringkali digunakan oleh masyarakat setempat duntuk melakukan pertunjukkan, mulai dari pertunjukan tari, wayang, seni peran, dan lain masih banyak lagi. Karena kelelahan banyak di antara kami beristirahat sekedar meluruskan kaki di sanggar seni tadi.


Potret Makam Mbah Buyut Tondo
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Potret Balau Budaya Cak Markeso
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Setelah para peserta tour selesai beristirahat, kami melanjutkan perjalanan mengelilingi Kampung Ketandan. Salah satu peserta mengacungkan tangan, ia penasaran kenapa sedaritadi tidak ada motor yang berlalu lalang. Sang pemandu menjelaskan bahwa motor tidak boleh dinyalakan di Kampung ini, jadi apabila ada orang yang ingin bepergian keluar mereka harus mendorong motor mereka sampai ke depan gang baru mereka bisa menyalakan mesin kendaraaan. Mendengar penjelasan tersebut jujur saya kagum luar biasa di dalam hati. Sebegitu kuatnya usaha para penduduk ini meminimalisir polusi udara demi suasana yang tenang dan asri.

Dalam perjalanan, sang pemandu kembali berceloteh dan kali ini cukup membuat mata terbelalak. Ia menceritakan bahwa dulu sekali di wilayah ini terdapat kompleks pemakaman Cina. Beberapa dekade setelahnya makam tersebut terlupakan oleh generasi-generasi baru yang tinggal di sana. Oleh masyarakat ditemukan sisa-sia batu berbentuk persegi, karena ketidaktahuan masyarakat batu berbentuk persegi tersebut dijadikan penutup selokan air. Padahal batu-batu berbentu persegi tersebut merupakan batu penutup makam Cina di masa sebelumnya. Dan hingga kini batu-batu penutup makam tadi masih dijadikan penutup selokan oleh masyarakat.


Potret salah satu rumah warga sebagai contoh bentuk rumah asli masyarakat Surabaya
Sumber: Dokumentasi Pribadi

Potret Penutup makam yang dijadikan penutup selokan
Sumber: Dokumentasi Pribadi
Selesai dari fakta mengejutkan tadi, kami diperlihatkan salah satu rumah penduduk sebagai penggambaran wujud dari rumah asli masyaraat Surabaya. Rumah tersebut digambarkan berbentuk segitiga, dengan pintu dua lapis seperti rumah-rumah Belanda, dengan jendela berbentuk segi empat, dan dikelilingi pagar besi yang pendek.  Tidak jauh dari sana, nampak mulut gang Kampung Ketandan yang kita lewati di awal perjalanan. Tidak terasa perjalanan kita telah selesai dan benar saja waktu menunjukkan pukul 14:20. Oleh sang pengemudi kita kembali diantarkan ke titik awal yaitu House of Sampoerna.

Selesai sudah perjalanan saya yang kali ini ditemani oleh SHT (Surabaya Heritage Track) sebagai salah satu atau mungkin satu-satunya fasilitas tour GRATIS di kota Surabaya. Sudah gratis, mendapatkan pengalaman baru, teman baru, dan pulang dengan tambahan wawasan. Keberadaan SHT ini menurut saya juga sebagai tanda bahwa masih banyak skali cerita, tempat, kisah, yang perlu digali di Kota Surabaya. Oh Surabaya, bahwa gang kecil saja yang dikota-kota lain hanya dianggap sebagai perusasak pemandangan karena dianggap kumuh dan tidak mencerminkan kota modern, kamu justru dengan bangga mengenalkan “Kampung” sebagai salah satu bentuk society kecil, sebuah kelompok kecil yang menjadi cikal bakal Kota Surabaya yang berdiri megah hingga hari ini. Jadi, apalagi yang kalian tunggu? Yuk cobain SHT sekarang juga dan ceritakan pengalamanmu di kolom komentar ya. J

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Hotel Rasa Asrama: My Very First Capsule Hotel Experience

7 REKOMENDASI KULINER LEGENDARIS ASAL SURABAYA: NOMER 6 DAN 7 WAJIB JADI OLEH-OLEH