Postingan

Menampilkan postingan dari November, 2019

Cerita 3: Dyra, Si Sobat Putih Biru

Baru saja Dyra aku antar ke depan rumah, ojek onlinennya sudah menunggu di depan. Seperti biasa kami ngobrol panjang lebar sampai lupa waktu, jadilah Dyra pulang larut malam lagi. Dyra pulang, tapi otakku masih terus berpikir. Banyak sekali cerita hari ini, mulai dari celotehan receh, mengenang cinta monyet, sampai berdiskusi tentang pandangan hidup. Punya pertemanan yang punya umur panjang   sama Dyra dari kita masih duduk di bangku SMP sampai sekarang kita udah jadi sarjana pengangguran rasanya luar biasa. Kadang lucu kalau dipikir-pikir gimana kita satu sama lain jadi saksi mata atas proses kehidupan yang bertahun-tahun membentuk kita sampai jadi diri kita yang sekarang. Kita satu sama lain sama-sama jadi saksi mata sekian banyak peristiwa-peristiwa besar masing-masing. Selama bertahun-tahun kita sama-sama saling menyaksikan dan bahkan kadang ikut ngerasain gimana rasanya patah hati pertama sahabat kita, merasa terheran-heran perasaan seremeh “cinta” pada akhirnya bisa buat saha

Life in 2 Lines

Line 1 Looking out my window every night since the breakup. Hoping he would one day pull into my drievaway and apologize for how badly he hurt me -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- Have you ever felt those moment when you're just rehearsing the past in your head? When you just couldn't help but thinking "what if?" "I wasn't ready" That's what I keep saying to myself whenever I felt overwhelmed like today. -------------------------------------------------------------------------------------------------------------------------- I’ll admit that I'm totally fucked up. Fucked up "just" because of someone. Someone that be able so special for the past 9 years. He was my life He was my half soul He was the love of my life But now I’m glad it “was”. Not“ing”, cause that is not going anywhere ----------------------------------

Cerita 2: Dean Picisan

Aku mengenal Dean ketika aku masih duduk dibangku menengah pertama. Saat itu aku baru saja naik ke tingkat dua, dan Dean satu tingkat di bawahku. Tidak sulit sebenarnya menemukan Dean dari sekian banyak junor-junior di sekolah kami. Bagaimana tidak, dia dan "segala-yang-ada-pada-didirinya" benar-benar membuat semua wanita di sekolah pasti akan langsung memalingkan pandangan ke arahnya setiap dia lewat. Sosok laki-laki berkulit putih pucat, berambut mowhawk, berwajah oriental, bermata kecil namun sangat tajam, hidung mancung, dan bibir kecil yang selalu murah senyum. Dari deskripsi ini saja sudah bisa dipastikan kalau Dean ini akan menonjol di tengah murid-murid laki di sekolah yang umumnya berkulit coklat keemasan bak gorengan pinggir jalan. Wajah imut-imut yang dia miliki itu berbanding kontras dengan postur tubuhnya yang tinggi menjulang dengan otot-otot yang tersembunyi di balik seragam sekolahnya.  Dan percaya atau tidak pernah sedikit mewarnai kehidupanku -si-anak-ave

Cerita 1: Si Anak Baru

“Teng..Teng..Teng..Teng..” Bel sekolah berbunyi tanda masuk sekolah dimulai. Tidak adanya yang salah memang dengan bunyi bel itu. Hanya saja, aku, -si-bodoh-yang-terlambat-masuk-di hari-pertama- mendengarnya tepat di depan gedung sekolah, gedung sekolah tetangga , dan sialnya sekolahku masih tampak mungil menandakan bahwa jaraknya masih jauh sekali. Alih-alih bergegas agar tidak terlambat, aku memilih berjalan pasrah lantaran tahu pasti akan kena semprot oleh siapapun yang menjaga pintu gerbang. Sumpah serapah yang nantinya akan menghujam tubuhku yang rapuh ini sudah membumbung tinggi di udara. “ Karraaaa!!!! Darimana saja kamu. Sudah dapat jatah masuk siang, kamu masih juga kesiangan???? Ini namanya bukan kesiangan lagi tahu, tapi kesorean! ” Ya memang ada benarnya juga sih, sekarang sudah pukul 2 siang, padahal jam masuk kelas siang sudah berlalu satu jam yang lalu. Hhhhhh , secara spontan aku mengerutkan dahi, memejamkan mata, dan berusaha menggeleng-gelengkan kepala sekera