Cerita 3: Dyra, Si Sobat Putih Biru
Baru
saja Dyra aku antar ke depan rumah, ojek onlinennya sudah menunggu di depan.
Seperti biasa kami ngobrol panjang lebar sampai lupa waktu, jadilah Dyra pulang
larut malam lagi. Dyra pulang, tapi otakku masih terus berpikir. Banyak sekali
cerita hari ini, mulai dari celotehan receh, mengenang cinta monyet, sampai
berdiskusi tentang pandangan hidup.
Punya
pertemanan yang punya umur panjang sama Dyra
dari kita masih duduk di bangku SMP sampai sekarang kita udah jadi sarjana
pengangguran rasanya luar biasa. Kadang lucu kalau dipikir-pikir gimana kita
satu sama lain jadi saksi mata atas proses kehidupan yang bertahun-tahun
membentuk kita sampai jadi diri kita yang sekarang. Kita satu sama lain
sama-sama jadi saksi mata sekian banyak peristiwa-peristiwa besar
masing-masing. Selama bertahun-tahun kita sama-sama saling menyaksikan dan
bahkan kadang ikut ngerasain gimana rasanya patah hati pertama sahabat kita,
merasa terheran-heran perasaan seremeh “cinta” pada akhirnya bisa buat sahabat
keras kepala kita bisa nangis luar biasa kaya anak kecil, atau ngeliat sahabat
kita tumbuh dari seseorang yang diremehkan orang banyak bisa tumbuh jadi orang
tangguh yang berani ngeluarin suaranya tanpa harus didorong dari belakang lagi.
Sembilan
tahun udah gue sahabatan sama Dyra, persahabatan yang luar biasa nggak masuk
akal karna sejak awal kita berdua kaya kutub utara dan kutub selatan. Gua yang
sejak awal punya gaya clumsy a.k.a
sleboran, macho, dan rada keras, bisa-bisa semesta bawa gue temenan sama Dyra yang
sejak awal ngomongnya gabanyak, ketawa mulu, resik, lemah lembut (walau kini
tidak huhu RIP Dyra masa lalu), dan yang langsung gentar dikerasin dikit. Tapi
ya seiring berjalannya waktu terjawab sudah keraguan gue. Dari Dyra gua belajar
banyak banget, dan gue rasa begitu juga sebaliknya. Berteman dengan orang luar
biasa bertolak belakang karakteristiknya sejak awal tentu aja secara nggak
sadar ngebuat gue belajar untuk memahami setiap orang punya pemikiran dan
prinsip yang berbeda-beda, maka dari itu dalam menyikapi masalahpun pasti nggak
akan pernah ada yang persis sama. Lalu, muncul pertanyaan baru, kalau punya karakteristik
yang berbanding terbalik kenapa masih berteman selama ini? Bukannya nggak akan
menyenangkan ya punya lawan bicara yang nggak nyambung sama kita?
Well, let me get this straight,
satu yang gua pelajarin dari tiap pertemuan gua sama Dyra yang selalu berakhir
dengan ngobrol panjang lebar sampai lupa waktu. Bahkan beberapa hari belakangan
kita ketemu ALMOST EVERYDAY! AND WE STILL
HAVE SO MUCH STUFF FOR US TO TALK TO, CAN U BELIEVE THAT? kita memang nggak
sewatak, tapi bukan berarti kita nggak sepaham. Kita mungkin punya karakter
yang sangat bertolak belakang, tapi kita punya cara pandang yang hampir sama
dalam melihat sesuatu. Salah satu yang paling kuat dan yang ngebuat kita bisa
bersahabat selama ini gue rasa kata kita berdua sama-sama menyadari sejak awal
kalau kita memang “beda” tapi kita sama-sama tidak menuntut satu sama lain
untuk sama, and it is okay to be
different. Well, sesuatu yang
menurut kita benar belum tentu juga benar menurut orang lain, dan segala
sesuatu yang nggak kita pilih tapi orang lain pilih juga bukan berarti itu hal
yang salah, kan?
Segala
sesuatu memang butuh proses, begitu juga dengan proses kita berdua untuk
beradaptasi. Nggak mungkin lah mendadak kita jadi manusia yang paling
pengertian dan cinta damai? Kita berdua juga butuh proses untuk nerima segala
habbit satu sama lain. Gue nerima Dyra yang a, b,c,d, begitu pun juga
sebaliknya, gue rasa salah satu tingkat persahabatan tertinggi itu sih, gimana
kita bisa nerima segala paket lengkap dan sadar diri kalau diri kita sendiri
juga nggak ada bedanya. Gimana
pelan-pelan kita paham karakter masing-masing dan selalu berusaha menempatkan
diri di posisi masing-masing, tanpa perlu judge ini itu. Gue rasa, setiap
cerita, setiap pertemuan, yang dibutuhkan cuma sesederhana ngasih telinga aja
kok. Kadang, kalau udah ada satu mulut yang bersuara kenapa harus ditambah
lagi?
Komentar
Posting Komentar