Cerita 2: Dean Picisan
Aku mengenal Dean ketika aku masih duduk
dibangku menengah pertama. Saat itu aku baru saja naik ke tingkat dua, dan Dean satu tingkat di bawahku. Tidak sulit
sebenarnya menemukan Dean dari sekian banyak junor-junior di sekolah kami. Bagaimana tidak, dia dan
"segala-yang-ada-pada-didirinya" benar-benar membuat semua wanita
di sekolah pasti akan langsung memalingkan pandangan ke arahnya setiap dia
lewat. Sosok laki-laki berkulit putih pucat, berambut mowhawk, berwajah oriental, bermata kecil namun sangat tajam, hidung mancung, dan bibir kecil yang selalu murah senyum. Dari deskripsi ini saja sudah bisa dipastikan kalau Dean ini akan menonjol di tengah murid-murid laki di sekolah yang umumnya berkulit coklat keemasan bak gorengan pinggir jalan. Wajah imut-imut yang dia miliki itu berbanding kontras dengan postur tubuhnya yang tinggi menjulang dengan otot-otot yang tersembunyi di balik seragam sekolahnya. Dan
percaya atau tidak pernah sedikit mewarnai
kehidupanku -si-anak-average-. Untuk kalian yang
belum pernah mengenal Dean, aku akan jelaskankan kenapa Dean begitu menarik
bahkan untuk aku ceritakan kembali. Inilah ceritaku, 10 tahun lalu.
***
Aku malas sekali datang ke sekolah hari ini.
Jika bukan karena hari ini hari pertama aku masuk dan khawatir akan posisi
tempat dudukku untuk beberapa waktu ke depan yang sudah sewajarnya diamandakan
di hari pertama masuk sekolah, pasti aku masih tidur di kasur bersama selimut
kesayanganku sembari menonton televisi.Tapi tidak, semesta memang tidak akan
membiarkanmu bersama hal-hal yang kamu sukai seenak jidat setiap waktu. Jadilah
aku di sini. Duduk di angkot sendirian tanpa ada penumpang lainnya. Ketika itu
waktu sudah menunjukkan pukul 13:20 ketika aku turun dari angkot padahal aku
masuk kelas pukul 12:30. Yap, perkenalkan namaku Kara. Saat ini aku duduk di
bangku sekolah menengah pertama tingkat dua di salah satu sekolah di bilangan
Jakarta Selatan. Sama seperti beberapa sekolah yang minim luas bangunannya,
sekolahku memiliki dua waktu aktif sekolah yakni pagi dan siang, bagi
mereka yang kebagian jatahpagi mereka memulai waktu aktif dari pukul 07:00
hinggal 12:00, da n untuk mereka yang kebagian kelas siang (seperti aku) mereka
akan memulai waktu pelajar pukul 12:30 hingga pukul 17:30. Sama seperti yang
aku bilang, sekolahku tidak sebesar sekolah-sekolah lain. Hanya sebuah bangunan
letter U berwarna merah jambu yang terletak di pinggir jalan bilangan Kebayoran
Lama. Tidak banyak memang berminat memasukkan anaknya ke sekolah ini. Tidak ada
yang istimewa dari sekolahku ini,mungkin hanya lokasinya yang cukup strategis,
memiliki mushola yang cukup luas, ratusan tanaman hias yang sangat rimbun yang
digantung dan diletakkan disetiap sudut bahkan saking rimbunnya terlihat
seperti hampir menelan sekolahku yang super mini ini, tapi kembali lagi, tidak
ada yang istimewa, bahkan akademis anak-anaknya pun juga standar-standar saja.
Namun siapa sangka, bangunan kecil ini ternyata kelak berhasil membuatku rindu
dan selalu membuatku ingin kembali mengulang jutaan peristiwa bersejarah yang
aku alami di usiaku saat itu menikmati setiap perasaan manis masa lalu
bahkan sedkit-banyak yang dapat aku bayangkan ketika aku hanya melihat
bangunan ini dari pinggir jalan di tahun-tahun setelah aku keluar dari
sini. Segitu dulu ya informasi yangaku berikan, saat ini aku sedang
terlambat dan tidak ada waktu untuk mebahas tentang biodata diri. Tapi tunggu
dulu, kalau aku lari sepertinya tidak akan mengubah keadaan juga. Lihat saja,
jarak antara waktu masuk dan waktu saat ini sudah sangat tidak masuk akal untuk
diminimalisir. Jadi yasudahlah. Lebih baik persiapkan mental untuk dikutuk
siapapun orang yang menjaga pintu gerbang.
Sesampainya aku di pintu gerbang ternyata ada
Saleh si satpam tersayang yang sedang berjaga. Beliau merupakan satpam senior,
terlihat dari tubuhnya yang cukup tampun, rambutnya sudah mulai putih, kalau
kalian ingin menerka-nerka kira-kira wajahnya mirip Soeharto-lah apalagi ketika
matanya sedang menyipit, benar-benar seperti kloningan deh! Kebetulan
beliau sudah cukup mengenalku lantaran ibuku atau orang rumah
seringkali mengantarkan barang-barangku yang ketinggalan karena aku sering
lupa. sebetulnya dalam hati aku sudah ikhlas lahir batin kalau disuruh
pulangkarena waktu terlambatku memang snagat kelewatan, yah setidaknya aku bisa
pulang ke rumah lebih cepat dari yang lain kan? Tapi ternyata Pak Saleh tidak
berkomentar apa-apa dan langsung menyuruhku masuk dengan bahasa tumbuh
andalannya. Wuhuww, sepertinya aku sedang mujur!
Ketika aku berjalanan melewati lapangan
sekolah, aku baru menyadari bahwa kegiatan belajar mengajar hari ini belum
dimulai seperti biasanya. Syukurlah, jika tidak mungkin siapa pun guru di
kelas yang akan mendapati aku si murid kurang ajar yang terlambat satu jam
pasti langsung mendapat kesan yang buruk terhadapku. Aku pun melanjutkan
langkah kakiku menuju lantai dua, di situlah kelas baruku berada.
Baru saja kakiku ingin melangkah ke anak
tangga pertama tiba-tiba ada segerombolan anak laki-laki turun dari arah
berlawanan dariku sembari bersenda gurau.Saking asyik dan buru-buru jadilah
mereka menabrakku hingga aku terpental hingga beberapa inci "Awww! Yang
bener dong!" Entah mereka tuna rungu atau apa, mereka hanya menatap
aku heran dan tertunduk malu. Seperti yang aku duga, bukannya
buru-buru meminta maaf mereka semua justru ngacir menuju kantin. Cih dasar junior! Eh, Tidak semua
ternyata, salah satu dari mereka ada yang belum beranjak. Astaga, dia
manusia bukan sih. Belum aku mengeluarkan kata-kata dan masih menatap
penuh selidik ke arahnya dia sudah membuat gesture orang meminta maaf dengan
kedua tangan diletakkan di dada ditambah raut mukanya yang langsung dibuat
seperti orang sedang sungkan "hehe, maaf ya Kak". Kalau
kulitku putih pasti saat itu juga aku langsung ketangkep basah karena pipiku
langsung panas dan sudah pasti merah. Untung saja kulitku sawo matang jadi bisa
mengcover air mukaku. Aku pun hanya mengangguk, dan kemudian dia juga langsung bergegas menyusul
teman-teman sumprulnya tadi. Ya, begitulah pertemuan pertamaku dengan Dean.
Dean yang ketika itu memakai seragam putih biru yang masih kaku dan cemerlang
menutupi kulitnya yang sangat putih ala orang Tionghoa, dia cukup tinggi bahkan
melebihiku 5-6 cm, tubuhnya berisi tapi tidak terkesan gemuk, rambutnya hitam
legam dengan potongan mohawk, matanya yang sipit namun tajam,
bibirnya tipis, giginya yang putih, dan senyumannya yang setiap kali dia
melakukannya pasti matanya terlihat semakin sipit. Kejadian itu hanya
berlangsung beberapa detik tentu saja (memangnya ini sinetron!), aku pun
kembali melanjutkan perjalananku menuju kelas baruku. Diperjalanan, aku
menemukan hal menarik, ternyata angkatanku kedapatan murid baru yang menurut
kabar burung pindahan dari Pondok Pesantren, dan hebatnya anak baru ini sudah
mencuri hati banyak orang terutama siswi-siswi di sini yang memang krisis cowok
ganteng. Itu saja sih. Aku tidak ingin membahasnya lebih lanjut, karena saat
itu pikiranku sepenuhnya sedang berada pada kejadian tadi, seorang junior yang
sopan tapi aku juga yakin seratus persen kalau dia tipe cowok flamboyan. Itu
sah-sah saja, toh dia juga memang ganteng beneran dan tidak sok tampan.
Maksudku, jaman sekarang (terutama di sekolahku) pasti ada saja cowok-cowok
metroseksual yang kadar percaya dirinya setinggi langit merasa dirinya setampan
Anjasmara tapi dia lupa kalau Anjasmara tidak mungkin bersekolah di Kebayoran
Lama.
To be continued...
To be continued...
Komentar
Posting Komentar